Sejarah Jurnalistik Dunia
Sejarah jurnalistik dimulai pada masa
Romawi kuno di masa pemerintahan Julius
Caesar (100-44 SM). Pada masa itu terdapat Acta Diurna, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau
papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers,
media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun
disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”. Acta diurna berisi hasil uji coba semua,
peraturan baru, keputusan senat dan informasi penting lainnya yang dipasang di
pusat kota yang disebut Stadion Romawi atau Forum Romanum.
Berita di Acta Diurna kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul
para Diurnarii, yakni orang-orang
yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan Acta
Diurna itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.
Dari kata Acta Diurna inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata Diurnal dalam Bahasa Latin berarti harian atau setiap hari. Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi Du Jour dan bahasa Inggris Journal yang berarti hari, catatan harian, atau laporan. Dari kata Diurnarii muncul kata Diurnalis dan Journalist (wartawan).
Dalam sejarah Islam, cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan.
Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.
Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.
Masa Perkembangan
Kegiatan penyebaran informasi melalui tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama Phapyrus.
Dari kata Acta Diurna inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata Diurnal dalam Bahasa Latin berarti harian atau setiap hari. Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi Du Jour dan bahasa Inggris Journal yang berarti hari, catatan harian, atau laporan. Dari kata Diurnarii muncul kata Diurnalis dan Journalist (wartawan).
Dalam sejarah Islam, cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan.
Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.
Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.
Masa Perkembangan
Kegiatan penyebaran informasi melalui tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama Phapyrus.
Surat kabar pertama diterbitkan
di Cina pada tahun 911, Pau Kin. Koran ini dimiliki oleh pemerintah ketika masa
Kaisar Quang Soo. Tidak berbeda dalam Age
of Caesar, Kin Pau mengandung berita keputusan, pertimbangan dan informasi
lain dari Istana. Pindah ke Jerman, tahun 1609, penerbitan surat kabar pertama
bernama Avisa Relation Order Zeitung. Pada 1618, surat kabar tertua di Belanda
bernama Coyrante uytItalien en
Duytschland. Surat kabar pertama di Inggris diterbitkan pada 1662 bernama Oxford Gazette (later the London) dan
diterbitkan terus menerus sejak pertama kali muncul. Surat kabar pertama di
Perancis, the Gazette de France,
didirikan pada tahun 1632 oleh raja Theophrastus Renaudot (1.586-1.653), dengan
perlindungan Louis XIII. Semua surat kabar yang terkena sensor prepublication,
dan menjabat sebagai instrumen propaganda untuk monarki.
Industri surat kabar mulai menunjukkan kemajuan yang luar biasa
ketika budaya membaca di masyarakat semakin meluas. Terlebih ketika memasuki
masa Revolusi Industri, di mana industri surat kabar diuntungkan dengan adanya
mesin cetak tenaga uap, yang bisa meningkatkan kinerja untuk memenuhi
permintaan publik akan berita.
Pada pertengahan 1800-an bisnis
berita mulai berkembang. Organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan
berbagai berita dan tulisan didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar
dan majalah. Pasalnya, para pengusaha surat kabar dapat lebih menghemat
pengeluarannya dengan berlangganan berita kepada kantor-kantor berita itu
daripada harus membayar wartawan untuk pergi atau ditempatkan di berbagai
wilayah. Kantor berita yang masih beroperasi hingga hari ini antara lain
Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai
dengan munculnya istilah Yellow
Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline”
antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan
satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst. Ciri khas jurnalisme kuning
adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama
yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu, yaitu meningkatkan
penjualan.
Jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak biasa dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme professional.
Jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak biasa dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme professional.
Sejarah Jurnalistik Indonesia
1. Zaman
Pendudukan Belanda
a. Kolonial
Pers kolonial adalah pers yang di usahakan oleh orang-orang
Belanda pada masa penjajahan Belanda. Pers ini berupa surat kabar, majalah,
koran berbahasa Belanda atau bahasa daerah Indonesia yang bertujuan membela
kepentingan kaum kolonialis Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan
Indonesia pun menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan.
Pada tahun 1744 terbit tabloid Belanda pertama di Indonesia yaitu Batavis Novelis atau dengan
namapanjangnya Bataviasche Nouvelles
en Politique Raisonnementes. Sebenarnya pada tahun 1615 Gubernur
Jenderal pertama VOC Jan Piterszoon Coen telah memerintahkan menerbitkan Memorie
der Nouvelles . surat kabar ini berupa tulisan tangan. Tanggal 5 Januari
1810 Gubernur Jenderal Daendels menerbitkan sebuah surat kabar mingguan Bataviasche Koloniale Courant yang
memuat tentang peraturan-peraturan tentang penempatan jumlah tenaga untuk tata
buku, juru cetak, kepala pesuruh dan lain-lain. Setelah itu mulai bermunculan
surat kabar baru dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Seperti; Medan Priyayi
(1910), Bintang Barat, Bintang Timur, dan masih banyak lagi. Medan Priyayi adalah surat kabar
pertama yang dimiliki oleh masyarakat pribumi Indonesia, yang didirikan oleh
Raden Jokomono atau Tirto Hadi Soewirjo. Oleh sebab itu Raden Jokomono atau
Tirto Hadi Soewirjo disebut sebagai tokoh Pemrakarsa Pers Nasional, karena dia
adalah orang pertama dari Indonesia yang mampu memprakarsainya dan dimodali
oleh modal Nasional.
Pada tahun 1811 saat Hindia Belanda menjadi jajahan Inggris Bataviasche Koloniale Courant tidak
terbit lagi. Orang Inggris menerbitkan Java
Government Gazette. Surat kabar ini sudah memuat humor dan terbit
antara 29 Februari 1812 sampai 13 Agustus 1814. Hal ini dikarenakan pulau Jawa
dan Sumatera harus dikembalikan kepada Belanda.
Belanda kemudian menerbitkan De Bataviasche Courant dan kemudian tahun 1828 diganti
dengan Javasche Courant memuat
berita-berita resmi , juga berita pelelangan, kutipan dari surat kabar di
Eropa. Tahun 1835 di Surabaya terbitan Soerabajaasch
Advertentieblad. Kemudian di Semarang pada pertengahan abad 19 terbit Semarangsche Advertentieblad, De
Semarangsche Courant dan kemudian Het Semarangsche Niuews en
Advertentieblad. Surat kabar ini merupakan harian pertama yang mempunyai
lampiran bahasa lain seperti Jawa, Cina dan juga Arab. Tahun 1862 untuk pertama
kali dibuka jalan kereta api oleh Pemerintah Hindia Belanda maka untuk
menghormati hal tersebut Het Semarangsche Niuews en Advertentieblad berganti
nama menjadi de Locomotief.
Setelah itu mulai bermunculan surat kabar baru dari masyarakat
Indonesia itu sendiri. Seperti; Medan Priyayi (1910), Bintang Barat, Bintang
Timur, dan masih banyak lagi. Medan Priyayi adalah surat kabar pertama yang
dimiliki oleh masyarakat pribumi Indonesia, yang didirikan oleh Raden Jokomono
atau Tirto Hadi Soewirjo. Oleh sebab itu Raden Jokomono atau Tirto Hadi
Soewirjo disebut sebagai tokoh Pemrakarsa Pers Nasional, karena dia adalah
orang pertama dari Indonesia yang mampu memprakarsainya dan dimodali oleh modal
Nasional.
b. Pers Masa Pergerakan
Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada di bawah
penjajahan Belanda sampai saat masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers
nasional adalah pers yang di usahakan oleh orang-orang Indonesia terutama
orang-orang pergerakan dan di peruntukan bagi orang Indonesia. Setelah
munculnya pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, Surat kabar yang di
keluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers
menyuarakan kepedihan,penderitaan,dan merupakan refleksi isi hati bangsa terjajah.
Pers menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan
kedudukan bangsa.
2. Zaman
Penjajahan Jepang
Jepang mengambil alih
kekuasaan, koran-koran dilarang terbit. Akan tetapi pada akhirnya ada lima
media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja,Sinar Baru, Sinar
Matahari, dan Suara Asia.
Beberapa keuntungan yang di dapat oleh para wartawan di Indonesia
yang bekerja pada penerbitan Jepang,antara lain sebagai berikut :
· Pengalaman yang di peroleh para karyawan pers Indonesia
bertambah. Fasilitas dan alat-alat yang di gunakan jauh lebih banyak dari pada
masa pers zaman Belanda.
· Penggunaan bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin sering dan
luas.
· Pengajaran untuk rakyat agar berfikir kritis terhadap
berita yang di sajikan oleh sumber-sumber resmi Jepang. Selain itu, kekejaman
dan penderitaan yang di alami pada masa pendudukan Jepang memudahkan para
pemimpin bangsa memberikan semangat untuk melawan penjajahan.
Revolusi Fisik (Pendudukan Belanda)
Pada masa revolusi fisik ini, pers terbagi menjadi dua
golongan,yaitu sebagai berikut :
· Pers yang di terbitkan dan di usahakan oleh tentara pendudukan
Sekutu dan Belanda yang selanjutnya di namakan pers Nica ( Belanda ).
· Pers yang di terbitkan dan di usahakan oleh orang Indonesia
yang di sebut pers republik.
Pers republik disuarakan oleh masyarakat Indonesia yang berisi
semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan Sekutu. Pers
ini benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu. Sebaliknya, pers Nica
berusaha memengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk
berkuasa di Indonesia.
3. Orde lama
Pers pada masa Orde lama digunakan untuk mengkritisi
pemimpin.Dewan Pers pertama kali terbentuk pada tahun 1966 melalui
Undang-undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Fungsi
dari Dewan Pers saat itu adalah sebagai pendamping Pemerintah serta bersama-sama
membina perkembangan juga pertumbuhan pers di tingkat nasional. Saat itu, Menteri Penerangan secara ex-officio menjabat
sebagai Ketua Dewan Pers.
4. Orde baru
Pada era orde baru, kedudukan dan fungsi Dewan Pers tidak berubah
yaitu masih menjadi penasihat pemerintah, terutama untuk Departemen Penerangan.
Hal ini didasari pada Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.
Tetapi terjadi perubahan perihal keterwakilan dalam unsur keanggotaan Dewan
Pers seperti yang dinyatakan pada Pasal 6 ayat (2) UU No. 21 Tahun 1982 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 4 Tahun 1967 :
“Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil pemerintah
dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli di
bidang lain.”
Pada masa ini, khususnya ketika Ali Murtopo menjadi Menteri
Penerangan (1977-1982), Departemen Penerangan difungsikan sebagai sebuah
"departemen politik" bersama Departemen Dalam Negeri. Artinya, ia
mempunyai fungsi pembinaan politik. Departemen ini berada di garda terdepan
dalam setiap kampanye pemilu. Fungsi ini semakin kental terasa tatkala Harmoko
menjadi Menteri Penerangan (1982-1997), dan selama tiga periode berturut-turut
Harmoko merangkap menjadi Ketua Umum Golkar (1987-1998) dan Ketua Umum MPR
(Maret 1998 -November 1998). Ini adalah jabatan dan kedudukan yang sangat strategis.
Dalam struktur kekuasaan seperti itu, Departemen Penerangan menjadi lembaga
penjaga gerbang informasi yang sangat efektif bagi kepentingan pemerintah.
Departemen Penerangan (melalui Direktorat Bina Wartawan Dirjen PPG) mempunyai
kewenangan untuk mencegah tangkal visa bagi wartawan maupun koresponden luar
negeri serta mempunyai kewenangan untuk mencegah tangkal tayangan siaran
langsung televisi dari dan ke luar negeri. Karena itu, Departemen Penerangan
juga mempunyai wewenang dalam pengaturan agenda informasi dari dan ke luar
negeri. (Hidayat, dkk, 2000:225)
5. Reformasi
Disahkannya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers membuat
berubahnya Dewan Pers menjadi Dewan Pers yang Independen, dapat dilihat dari
Pasal 15 ayat (1) UU Pers menyatakan :
Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan
kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen
Fungsi Dewan Pers juga berubah, yang dahulu sebagai penasihat
Pemerintah sekarang telah menjadi pelindung kemerdekaan pers.
Tidak ada lagi hubungan secara struktural dengan Pemerintah.
Dihapuskannya Departemen Penerangan pada
masa Presiden Abdurrahman Wahid menjadi bukti. Dalam
keanggotaan, tidak ada lagi wakil dari Pemerintah dalam Dewan Pers. Tidak ada
pula campur tangan Pemerintah dalam institusi dan keanggotaan, meskipun harus
keanggotaan harus ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Untuk
Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers, dipilih melalui mekanisme rapat pleno
(diputuskan oleh anggota) dan tidak dicantumkan dalam Keputusan Presiden.
Pemilihan anggota Dewan Pers independen awalnya diatur oleh Dewan Pers lama. Atang Ruswati menjabat
sebagai Ketua Badan Pekerja Dewan Pers, sebuah badan bentukan Dewan Pers
sebelum dilakukannya pemilihan anggota. Badan Pekerja Dewan Pers kemudian
melakukan pertemuan dengan berbagai macam organisasi pers juga perusahaan
media. Pertemuan tersebut mencapai sebuah kesepakatan bahwa setiap organisasi
wartawan akan memilih dan juga mencalonkan dua orang dari unsur wartawan serta
dua dari masyarakat. Setiap perusahaan media juga berhak untuk memilih serta
mencalonkan dua orang yang berasal dari unsur pimpinan perusahaan media juga
dua dari unsur masyarakat. Ketua Dewan Pers independen yang pertama kali adalah Atmakusumah
Astraatmadja.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar